English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

DAFTAR ISI BLOG

Label:
Recent Posts

Kamis, 16 Februari 2012

Dialektika Kerajaan Pagaruyung di dalam Alam Minangkabau

Minangkabau adalah sebuah ranah yang penuh pertentangan sejak dahulunya. Masyarakatnya terbiasa hidup dalam “konflik” yang bagaikan api dalam sekam, dapat dirasakan namun tidak muncul ke permukaan dalam bentuk yang anarkis atau berdarah-darah. Mereka sanggup mengerangkeng konflik itu sehingga sebagian besar hanya eksis di tataran ide saja.

Lareh Bodi Chaniago yang ‘bermufakat’ beroposisi dengan Lareh Koto Piliang yang ‘beraja’. Luhak Nan Tigo yang konservatif menjadi antitesa Rantau Pesisir Barat yang dinamis. Pertentangan Kaum Adat versus Kaum Paderi mewarnai era 1800-an, sementara era 1900-an diwarnai oleh perdebatan antara Kaum Muda Islam Modernis dengan Kaum Tua Islam Tradisionalis. Pada masa revolusi mereka terlibat lagi dalam pertentangan antara Islam dan Nasionalis dan terakhir antara kaum Federalis dan Unitaris.

Diantara konflik-konflik itu salah satu yang terbesar adalah soal eksistensi Kerajaan Pagaruyung di dalam Konfederasi Alam Minangkabau. Disetujui atau tidak, kita merasakan fakta di lapangan ada kelompok-kelompok yang berusaha menegasikan eksistensi Kerajaan Pagaruyung dan di seberang pihak ini pun ada juga yang sangat mendukung hegemoni Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Faktanya adalah kerajaan ini pernah ada dan berkuasa di Minangkabau.

Penentang eksistensi Pagaruyung diantaranya adalah datuak-datuak ahli adat yang umumnya berpendapat bahwa Pagaruyung adalah kerajaan di luar sistem nagari yang ada di Minangkabau. Rajanya adalah simbol Alam Minangkabau dan berkuasa hanya di wilayah rantau, sesuai kaidah “Luhak bapanghulu, Rantau barajo”. Adat berlaku salingka nagari saja, karena tiap nagari adalah otonom.

Sementara pendukung eksistensi yaitu kaum bangsawan Pagaruyung yang percaya bahwa Rajo Alam adalah pucuk adat di Minangkabau, karena mustahil menurut mereka aturan adat yang diwarisi masyarakat Minangkabau sekarang ini dapat berlaku luas dan dipegang teguh kalau tidak ada yang menyusunnya (baca memaksakannya). Pasti ada sebuah kekuasaan yang telah menetapkan aturan-aturan itu. Seandainya datuak-datuak saja yang menyusun aturan-aturan yang sebegitu rumit secara bersama-sama, dipastikan tidak akan kunjung selesai, karena setiap datuak merasa dirinya merdeka dan punya pemikiran sendiri-sendiri. Oleh karena itulah, semua aturan adat Minangkabau yang ada dan dijalankan sampai sekarang adalah warisan dari struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung dahulu. Jika dahulu merupakan aturan sebuah kerajaan, maka sekarang sudah menjadi aturan adat dan budaya.

Uniknya di dalam Tambo Minangkabau (bukan Tambo Pagaruyung) nama kerajaan ini tidak pernah disebut, apalagi nama raja pertamanya yaitu Adityawarman. Tambo Minangkabau yang umum akan memulai kisahnya dari peristiwa perjalanan Datuk Maharajo Dirajo anak Iskandar Zulkarnain dari Benua Ruum yang kemudian mendarat di Gunung Marapi dan memulai peradaban dengan mendirikan Nagari Pariangan. Selanjutnya adalah kisah-kisah penyebaran masyarakat ke wilayah Luhak Nan Tigo dan berkembangnya aturan-aturan dan undang-undang adat. Setiap nagari di Luhak Nan Tigo dan Minangkabau pada umumnya kemudian akan memiliki tambonya sendiri-sendiri, yang menjelaskan asal muasal nenek moyangnya (pendiri nagari tersebut). Jadi kesimpulannya di tataran nagari-nagari, jika dikumpulkan tambo akan berhulu ke Pariangan di lereng Gunung Marapi.

Memang ada daerah-daerah di sekeliling Luhak Nan Tigo yang tambonya tidak melulu berkiblat ke Pariangan atau wilayah lain di Luhak Nan Tigo. Wilayah-wilayah di bagian selatan seperti Alam Surambi Sungai Pagu dan Inderapura juga memiliki nenek moyang dari suku bangsa Malayu dari kawasan Batanghari atau wilayah lebih selatan lagi. Demikian pula halnya di bagian timur seperti Sungai Dareh, Sijunjung, Siguntur dan Pulau Punjung. Ada unsur-unsur masyarakat dari wilayah lain yang turut andil dalam pendirian nagari-nagari mereka. Daerah yang dekat seperti Pariaman pun ditengarai memiliki nenek moyang yang tidak homogen atau murni dari darek, tapi umumnya akan bisa ditarik benang merahnya dari kawasan Luhak Agam sebelah barat dan Luhak Tanah Datar sebelah barat.

Kerajaan Pagaruyung juga memiliki tambonya sendiri yang antara lain berisi ranji dan silsilah. Ranji adalah hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan garis ibu secara matrilineal, sedangkan Silsilah adalah hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan garis bapak secara patrilineal. Ranji dan silsilah ini dihafalkan secara lisan dalam bentuk warih bajawek dan baru mereka tuliskan dalam bentuk syair-syair dalam aksara Arab Melayu semasa pemerintahan Daulat Yang Dipertuan Fatah (ayah dari Sultan Alam Bagagar Syah), yaitu sekitar tahun 1800-an. Dari masa itu sampai sekarang sudah ada 7 generasi dan mereka mengklaim “satitiak indak ka ilang, sabarih indak ka lupo”.

Tambo Pagaruyung adalah rujukan dan pedoman bagi siapa-siapa yang seharusnya menjadi raja. Mereka yang tidak menjadikan Tambo Pagaruyung sebagai rujukan dalam pelurusan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sama saja dengan “manggantang asok”. Raja di Pagaruyung bukan diturunkan dari ayah kepada anak laki-laki, tetapi kepada anak laki-laki dari saudara perempuan. Ini sesuai dengan aturan pewarisan gelar di Minangkabau:

Biriak-biriak turun ka samak

Dari samak ka halaman

Dari niniak turun ka mamak

Dari mamak ka kamanakan

Dalam ranji dan silsilah Pagaruyung, Adityawarman ditempatkan sebagai raja pertama dan sudah berlalu 27 generasi sampai pemangku raja saat ini yaitu YM Sutan H. Muhammad Taufiq Thaib. Menurut prasasti Adityawarman mendirikan Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1343. Dari data ini kita bisa menerima bahwa ranji dan silsilah yang mereka miliki itu cukup masuk akal. Muhammad Taufiq Thaib lahir sekitar 1970-an atau 627 tahun setelah Adityawarman, maka jika dibagi 27 didapat angka 23. Usia yang logis bagi tiap generasi untuk memiliki keturunan.

Di lain pihak ada pula yang menentang eksistensi Kerajaan Pagaruyung dalam hal kebesarannya. Beliau adalah Riza Syahran Ganie gelar Sutan Khalifah, salah satu anggota keluarga kerajaan di Negeri Pasaman Kehasilan Kalam. Riza mengklaim bahwa Kerajaan Pasaman lebih besar dan lebih dahulu ada daripada Kerajaan Pagaruyung. Dalilnya adalah beliau adalah keturunan ke 13 dari raja pertama negeri ini dan umur rata-rata dalam keluarganya adalah 50 sampai 60 tahun. Dengan mengalikannya beliau memperkirakan bahwa Negeri Pasaman Kehasilan Kalam sudah ada sejak 650-780 tahun yang lalu, atau diperkirakan tahun 1230-1360, sezaman atau lebih awal dengan Pagaruyung. Tentu ada keganjilan disini dalam menghitung generasi, yaitu mengabaikan logika bahwa manusia berketurunan umumnya di umur 20an bukan 60an. Hitungan yang lebih masuk akal dengan memakai angka 23 akan menghasilkan tahun 1712 sebagai tahun berdirinya Negeri Pasaman Kehasilan Kalam sebagai sebuah kerajaan.

Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, selain tambo yang berisikan ranji dan silsilah. Mereka juga mempunyai naskah-naskah yang menjadi dasar kesejarahannya, diantaranya:

Tambo Alam Minangkabau, berisi tentang kisah asal usul orang Minang termasuk juga sebagian silsilah raja-raja dan beberapa latar belakang terbentuknya aturan-aturan adat
Tambo Adat Minangkabau (Undang-Undang Adat Minangkabau), yang berisi aturan-aturan dan tatacara yang berlaku dalam kehidupan orang Minang
Tambo Darah, berisi ketentuan Raja Pagaruyung mengirim putera-puteranya ke delapan negeri untuk dirajakan disana. Tambo Darah ini juga dikenali dengan “Surat Wasiat Sutan Nan Salapan”
Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau, yang berisi penjelasan dari struktur dari Kerajaan Pagaruyung
Undang Undang Tanjuang Tanah, naskah Melayu tertua yang baru saja ditemukan di Kerinci, antara lain berisi aturan-aturan adat.

Uraian diatas saya kira cukup untuk menyajikan dinamika yang terjadi di Ranah Minang sampai saat ini. Kesimpulan yang mungkin bisa kita ambil adalah Pagaruyung pernah berkuasa di Minangkabau dan akhirnya tenggelam kedalam aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Konflik fisik pernah terjadi antara lain dengan kaum bangsawan adat di Saruaso pada sekitar 1400-an, mungkin ini bentuk resistensi mereka karena bagaimanapun Pagaruyung dianggap sebagai entitas di luar adat. Rekonsiliasi juga mungkin pernah terjadi setelahnya sampai akhirnya terjadi lagi konflik besar pada masa Perang Paderi yang berakhir dengan terbunuhnya sebagian besar keluarga raja di Koto Tangah, Tanah Datar. Istana Pagaruyung kemudian dibakar dan Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda lalu dibuang ke Batavia.

0 komentar:

Posting Komentar

Designed by: Ariefortuna's Zone
 

Ariefortuna Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ariefortuna for ariefortuna's Zone